A. Pengertian
Akhlak
Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa
yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Maka bila sifat itu memunculkan
perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat maka sifat itu disebut
akhlak yang baik, dan bila yang muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan buruk
maka disebut akhlak yang buruk. Didalam islam pengertian akhlak adalah sistem
nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia diatas bumi yang didasarkan
kepada Al-Qur’an dan al-Hadist.
Akhlak
menurut kaum muslimin, menujukkan kondisi jiwa yang menimbulkan perbuatan atau
perilaku secara spontan. Seseorang dikatakan bermental penolong, ketika
dihadapkan kepada orang yang sedang dirundung kesulitan-kesulitan, secara
spontan akan memberikan pertolongan tanpa banyak memperhatikan atau memikirkan
untung rugi, atau ketika seseorang sedang berjalan tiba-tiba tersandung batu,
maka kata-kata yang akan keluar dari mulutnya mencerminkan akhlaknya, ketika
yang keluar dari mulutnya kata-kata “innalillahi wa innailahi rojiun” atau
“astaghfirullahaladzim” atau “subhanallah” maka itu berarti dia memiliki akhlak
yang terpuji dan sebaliknya, ketika yang keluar dari mulutnya nama-nama
penghuni kebun binatang, maka itulah akhlaknya. Jadi akhlak menunjukkan pada
hubungan sikap batin dan perilaku secara konsisten.
Secara
bahasa, akhlak berasal dari kata khalaqa
yang berarti ciptaan atau perbuatan. Melihat asal katanya akhlak
mengandung arti perbuatan manusia, tetapi kata akhlak biasanya dikaitkan dengan
perbuatan yang bernilai baik atau buruk. Karena itu objek yang dikaji dalam pembahasan akhlak adalah aspek
tingkah laku manusia dari segi nilai baik atau buruk. Dilihat dari struktur
agama islam yang terdiri dari aqidah, syariah, dan akhlak, maka akhlak dapat
dinyatakan sebagai perilaku yang tampak ketika seseorang telah melaksanakan
syariat berdasarkan aqidah islam. Karena itu, secara sruktual akhlak dapat
diartikan sebagai perilakun yang telah berkonotasi baik. Akan tetapi dalam
realita sehari hari terdapat akhlak yang baik ( akhlaq al karimah) dan buruk
(akhlak al mazmumah). Akhlak yang baik adalah perilaku yang sesuai dengan norma
ajaran islam, sedangkan akhlak yang buruk adalah perilaku yang tidak sesuai
dengan norma ajaran islam.
B. Akhlak kepada
Khaliq
Akhlak
Kepada Khaliq (Allah) dapat diartkan sebagai sikap atau perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada tuhan sebagai khalik.
Sikap
atau perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan akhlak sebagaimana telah
disebutkan di atas. Dan dapat disimpulkan bahwa Pengertian Aklhak kepada Allah
adalah :
1. Akhlak
kepada Allah adalah menjaga perkataan, sikap dan perbuatan agar tetap dekat
dengan Allah, dalam arti selalu mengingat Allah.
2. Akhlak
kepada Allah dilaksanakan dengan senantiasa menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangannya.
3. Cara
yang dilakukan dlm berakhlak kpd Allah antara lain dengan tidak berbuat syirik
(An-Nisa; 116), bertaqwa (An-Nur: 35, Al-Baqarah 177), ridha dan Ikhlas thd
takdirNya (Al-Baqarah 222), bersyukur (Al-Baqarah 152), dan beribadah
(Az-Zariyat 56)
Sekurang-kurangnya
ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah. Pertama, karena
Allah lah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari air yang
ditumpahkan ke luar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk (lihat QS.
Al-thariq (86) 5-7). Dalam ayat lain Allah mengatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah yang
kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (Rahim),
setelah ia menjadi segumpal darah, segumpal daging, dijadikan tulang dan
dibalut dengan daging, dan selanjutnya diberi roh. (lihat QS. Al-mu’minun (23)
12-13), dengan demikian sebagai yang diciptakan sudah sepantasnya berterima
kasih kepada yang menciptakannya.
Kedua, karena
Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran,
pengkilatan, akal fikiran, dan hati sanubari, disamping anggota badan yang
kokoh dan sempurna kepada manusia. Seperti firman Allah berikut :
وَاللهُ
اَخْرَجكُمْ مِنْ بُطُونِ اُمَّهَتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَ جَعَلَ لَكُمْ
السَّمْعَ وَاْلاَبْصَارَ وَاْلاَفْئِدَةَ لَعَلَكُمْ تَشْكُرُونَ (78)
Artinya: dan Allah mengeluaran kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberimu pendengaran, penglihatan,
dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (QS. An Nahl :78).
Ketiga, karna
Allah lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi
kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan sebagainya. (lihat QS. al
jatsiyah: 45: 12-13).
Keempat, Allah
yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan
dan lautan. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَني اَدَمَا وَحَمَلْنَهُمْ فِي البَحْرِ وَرَزَقْنَهُمْ مِنَ
الطَّيِّببَتِ وَفَضَّلْنَهُمْ على كَثِيْرٍمِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
Artinya: dan sungguh kami telah memuliakan anak cucu
adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut dan kami angkut mereka rezeki
dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka di atas banya makhluk yang kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (QS. Al isra :12 :70)
Namun demikian, sesungguhpun Allah
telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia sebagaimana disebutkan
diatas bukanlah menjadi alaasan Allah yang ingin di hormati. Bagi Allah
dihormati atau tidak, tidak akan mengurangi kemuliaanNya Akan tetapi
sebagaimana manusai sewajarnya menunjukkan akhlak yang sesuai kepada Allah.
Para ulama menjelaskan bahwa berakhlaq baik kepada Sang
Khaliq berputar pada tiga perkara:
- Membenarkan berita yang datang
dari Allah subhanahu wata’ala
- Menerima hukum-hukum yang Allah
tetapkan dengan mengamalkannya
- Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha
Selanjutnya kita akan jelaskan lebih detil lagi tentang tiga
perkara ini.
Pertama: Membenarkan berita yang datang dari Allah subhanahu
wata’ala
Maksudnya adalah seseorang tidak
boleh ragu dan bimbang dalam membenarkan berita yang datang dari Allah, karena
berita dari Allah bersumber dari ilmu Allah yang paling benar perkataannya. Allah ta’ala
berfirman:
مَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
“Dan siapakah orang yang lebih benar
perkataan(nya) dari pada Allah?” (An Nisa: 87)
Maka wajib membenarkan berita dari Allah dengan
mempercayainya, membelanya, berjihad di jalan Allah dengannya, di mana dia
tidak dimasuki oleh keraguan dan kerancuan tentang kebenaran Al Qur’an dan As
Sunnah.
Apabila seseorang sudah memiliki
akhlaq seperti ini maka dia pun bisa menolak setiap syubhat, kerancuan yang
dibawa oleh orang-orang inkarul hadits (orang-orang yang menentang hadits,
tidak mau menerima hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam). Demikian juga dia
bisa menolak setiap syubhat yang dibawa oleh para pelaku kebid’ahan yang
menambah-nambahi ajaran agama dengan apa yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan demikian juga dia bisa menolak
semua syubhat orang-orang kafir yang membenci kaum muslimin. Kita ambil contoh hadits “Lalat” yang diriwayatkan di dalam
Shahih Al Bukhari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى
جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
“Jika seekor lalat jatuh dalam minuman salah seorang dari
kalian, maka hendaklah ia celupkan lalat itu ke dalam minuman, lalu setelah itu
hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesungguhnya di dalam salah satu
sayapnya terdapat penyakit, dan di sayap lainnya terdapat obat.” (HR. Al
Bukhari, 5782)
Ini adalah berita dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara-perkara yang ghaib, Dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang
beliau ucapkan adalah wahyu Allah. Ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib,
bahkan Allah berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ
اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ
أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan
tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak
mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al An’am: 50
Berita, hadits tentang lalat ini
wajib untuk kita terima dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap
hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang
disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar, walau pun
orang-orang menentangnya.
Demikian pula
kita yakin dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits
shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam adalah pendapat yang keliru
dan batil, hal ini karena Allah berfirman :
فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ
الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Rabb kamu yang
sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka
Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32)
Kedua: Menerima hukum-hukum yang Allah tetapkan dengan
mengamalkannya
Tidaklah sepantasnya bagi seseorang
untuk menolak hukum Allah. Apabila seseorang menolak hukum Allah maka apa yang
dia lakukan adalah bentuk akhlak buruk kepada Allah. Sama saja penolakan itu
dalam bentuk pengingkaran, atau sombong tidak mau mengamalkan, menolak atau
menyepelekan pengamalannya. Ini semua merupakan akhlaq yang jelek kepada
Allah subhanahu wata’ala. Kita ambil contoh syariat puasa. Tidak diragukan lagi
bahwa puasa adalah amalan yang berat bagi jiwa kita. Ketika berpuasa kita
meninggalkan perkara-perkara yang kita sukai seperti makanan, minuman, dan
jima’. Ini adalah suatu perkara yang berat.
Bagi seorang mu’min, ia akan
berakhlak baik kepada Allah dengan menerima beban syariat ini, atau dengan kata
lain dia akan menerima kemuliaan ini. Karena hakikatnya syariat puasa ini
adalah nikmat dari Allah. Maka seorang mu’min akan menerima pensyariatan ini
dengan lapang dada dan ketenangan. Kita akan mendapati orang-orang yang beriman
berpuasa pada siang hari yang panas sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang
dada, karena ia berakhlak baik kepada Penciptanya. Sebaliknya orang yang
berakhlak buruk kepada Allah akan menerima ibadah seperti ini dengan keluh
kesah serta kebencian. Dia pun berpuasa dengan penuh keterpaksaan, atau bahkan
tidak berpuasa sama sekali.
Ketiga: Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha
Kita semua telah mengetahui bahwa
takdir-takdir Allah yang menimpa mahluk-Nya tidak semua sesuai dengan keinginan
si hamba. Ada sesuai dengan keinginan kita, adapula yang bertentangan dengan
keinginan kita. Misalnya sakit, keadaan seperti ini bukan keinginan kita. Semua
manusia tentu ingin sehat.Contoh yang lainnya misalnya kemiskinan. Ini juga
bukan keinginan kita. Setiap manusia pasti ingin hidup kaya atau berkecukupan.
Akan tetapi takdir Allah dengan
hikmah-Nya bermacam-macam, sebagian ada yang disukai manusia dan ia pun
berlapang dada dengan takdir tersebut. Dan sebagian lagi tidak disukai manusia.
Maka akhlak yang baik kepada Allah berkenaan dengan takdir-takdir-Nya adalah
dengan ridha dengan apa yang Allah takdirkan. Merasa tenang dan lapang dengan
takdir tersebut serta hendaknya kita menyadari bahwa tidaklah Allah menakdirkan
bagi kita seseuatu melainkan karena hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut
kita syukuri.
Jadi inti dari akhlak baik kepada
Allah dalam perkara takdir adalah ridha, dalam bahasa jawa sering dikenal
“nrimo” atau berserah diri, dan merasa tenang dengan takdir-takdir Allah
subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Allah ta’ala memuji orang-orang yang
bersabar di dalam firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ
الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)
“Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Al Baqarah: 155-156)
Dan adapun
pendapat lain berpendapat bahwa akhlak kepada Allah ada beberapa perkara yaitu
:
Peta
Konsep:
1.
Taqwa
a. Taqwa
bermakna memelihara diri, yaitu pemeliharaan terhadap apa yang ditakuti, yaitu
Allah.
b. Muttaqin adalah orang-orang yang
memelihara diri dari azb dan kemarahan Allah di dunia dan di akhirat.
c. Taqwa
adalah: mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
d. Hakikat
Taqwa adalah integrasi dari iman, islam dan ihsan (QS. Al-Baqarah 2-4, 177),
yang dilaksanakan secara maksimal (QS. Ali Imran 102).
e. Manfaat
Taqwa:
·
Dapat bersikap
furqan, dapat membedakan mana yang hak dan yang batil (QS. Al-Anfal 29)
·
mendapatkan berkah (QS. Al-A’raf 96)
·
memperoleh jalan keluar dari kesulitan (QS. At-Talaq 2)
·
memperoleh kemudahan dalam urusan (QS. At-Talaq 4)
·
mendapatkan rizki yang tidak terduga (QS. At-Talaq 3).
·
mendapatkan magfirah dan pahala yang besar (QS. Al-Anfal
29, At-Talaq 5)
2. Cinta dan Ridha
a.
Cinta (mahabbah) adalah kesadaran diri, perasaan
jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa
yang dicintainya dengan penuh semangat dan kasih sayang.
b.
Landasan cinta kepada Allah adalah QS. Al-Baqarah 165.
c.
Cinta dibagi menjadi dua: cinta utama (cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya), dan cinta menengah (cinta kepada ortu, anak, harta
benda). Cinta menegah harus dibawah cinta utama dan tidak boleh melebihinya.
d.
Cinta kepada Allah bersumber dari iman, semakin tebal
imannya semakin tinggi cintanya.
e.
Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti semua
yang diajarkan rasul Saw (QS. Ali Imran 31).
f.
Ridha adalah: menerima dengan sepenuh hati segala yang
datang dari Allah dan rasul-Nya, baik perintah, larangan, maupun petunjuk
lainnya.
g.
Sikap ridha tumbuh karena didasari cinta kepada Allah.
3. Ikhlas
a.
Ikhlas berasal dari kata khalasa yang berarti bersih,
murni, tdk bercampur.
b.
Ikhlas (etimologis): beramal semata-,ata mengharapkan
ridha Allah.
c.
Faktor penentu keihklasan:
· Niat, karena
menentukan diterima tidaknya amal seseorang.
· Beramal sebaik-baiknya,
dengan etos kerja dan profesionalitas yang tinggi, serta berkualitas.
· Pemanfaatan hasil
usaha yang tepat, yaitu untuk kebaikan dan kemaslahatan.
d.
Ciri orang yang ikhlas: tidak sombong jika berhasil,
tidak kecewa jika gagal, bersemangat dalam beramal.
e.
Lawan dari ikhlas adalah Riya. Riya termasuk sirik kecil
yang dapat menghapus amalan seseorang.
4. Khauf dan Raja’
a.
Khauf artinya takut, sedangkan Raja’ artinya berharap.
b.
Khauf adalah rasa takut yang harus bersumber dari rasa
takut kepada Allah. Rasa takut tsb disebabkan oleh dua hal: karena dia mengenal
Allah dan karena dosa-dosa yang telah dilakukannya.
c.
Orang yang Khauf adalah orang yang meninggalkan sesuatu
perbuatan karena takut akan hukumannya.
d.
Raja’ adalah menautkan hati kepada sesuatu yang disukai
pada masa yang akan datang. Raja’ harus didahului oleh usaha yang
sungguh-sungguh.
e.
Khauf dan raja’ harus dimiliki secara seimbang. Jika yang
dominan khauf akan menjadikan sikap pesimisme, jika yang dominan raja’ membuat
orang lupa akan azab Allah (QS. Yusuf 87, dan Al-A’raf 99).
f.
Khauf didahulukan dari Raja’.
5. Tawakkal
a.
Tawakkal adalah membebaskan hati dari segala
ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan segala keputusan kepada-Nya.
b.
Tawakkal adalh buah dari keimanan, yang harus diawali
dengan ikhtiar, yaitu usaha keras dan maksimal.
c.
Hikmah Tawakkal: mendapatkan ketenangan batin, baik dalam
keberhasilan maupun kegagalan, mendapatkan rasa percaya diri menghadapi masa
depan.
6. Syukur
a.
Syukur adalah memuji pemberi nikmat atas segala kebaikan
yang telah diterimanya.
b.
Syukur memiliki tiga unsur: mengakui nikmat dalam batin,
membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat
kepada Allah.
c.
Syukur melibatkan tiga dimensi, yaitu: hati, lisan, dan
anggota badan.
d.
Perintah Syukur kepada Allah adalah QS. Al-Baqarah 152,
Al-Luqman 12.
e.
Keutmaan Syukur adalah mendapat tambahan nikmat yang
berlimpah (QS. Ibrahim 7).
7. Muraqabah
a.
Berasal dari kata raqaba, yang berarti menjaga,
mengawal, menanti dan mengamati.
b.
Muraqabah: kesadaran orang muslim bahwa dia selalu berada
dalam pengawasan Allah. Kesadaran tersebut lahir dari keimanannya.
c.
Dasar Muraqabah; QS. An-Nisa 1, Al-Ahzab 52, Al Mukmin 19.
d.
Muraqabah tertinggi adalah apabila seseorang beribadah
dia bersikap seolah-olah dia melihat Allah dan meyakini bahwa Allah melihatnya.
e.
Muraqabah mendorong seseorang untuk bermuhasabah,
yaitu mengevaluasi semua perbuatan yangb telah dilakukan.
8. Taubat
a.
Berasal dari kata taba yang berarti kembali.
b.
Orang yang bertaubat adalah orang yang kembali dari
sesuatu menuju kepada sesuatu, kembali dari sifat tercela menuju sifat terpuji.\
c.
Dasar taubat
adalah QS An-Nur 31, At-Tahrim 8.
d.
Dimensi Taubat ada
lima yaitu:
·
Menyadari
kesalahan.
·
Menyesali
kesalahan.
·
Memohon ampun
kepada allah (istigfar).
·
Berjanji tidak
akan mengualanginya.
·
Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal saleh.
C. Akhlak kepada
Makhluk
1. Akhlak terhadap
Manusia
Manusia
merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, dalam
bermasyarakat kita perlu saling menghargai, bagaimana cara bersikap kepada
orang yang lebih tua maupun muda. Ini merupakan alasan mengapa akhlak sangat
penting bagi sesama manusia, karena dengan kita berakhlak, maka kita akan dapat
saling menghargai satu sama lain.
Banyak sekali rincian
yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia.
Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal
negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan
yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan
menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau
salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
Di sisi lain
Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi
Muhammad Saw. misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain,
namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari
Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia
lain. Karena itu, Al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya
(suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”.(QS.al-Hujurât[49]:2).
Setiap ucapan
haruslah ucapan yang baik, Al-Quran memerintahkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami
mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain
Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji
itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu
berpaling”.(Qur’an-surat:al-Baqarah[2]:83).
Akhlak
terhadap manusia terbagi dua, yaitu:
a. Akhlak Terpuji
a)
Belas kasih atau sayang (al-shafaqah)
Ialah sikap jiwa selalu ingin berbuat baik dan
menyantuni orang lain.
b)
Rasa persaudaraan (al-ikha)
Ialah sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan
baik dan bersatu dengan orang lian, karena ada keteriakan batin dengannya.
c)
Memberi nasehat (An- Nasihah)
Ialah suatu upaya untuk memberi patunjuk-petunjuk
yang baik kepada orang lain dengan menggunakan perkataan; baik ketika orang di
nasehati telah melakukan hal-hal yang buruk,maupun belum.
d)
Menahan amarah (kazmu al- ghaizi)
Ialah upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai
oleh perasaan marah terhadap orang lain.
e)
Sopan-santun (al-hilmu)
Ialah sikap jiwa yang lemah-lembut terhadap
orang lain, sehingga dalam perkataan dan pembuatannya selalu mengandung
adap-kesopanan yang mulia.
f)
Suka memaafkan (al- `afwu)
Ialah sikap dan perilaku seseorang yang suka
memaafkan kesalahan orang lain yang pernah di perbuat terhadapnya.
g)
Husnuzan
Berasal dari lafal husnun (baik) dan Adhamu (prasangka). Husnuzan berarti
prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni
berprasangka buruk terhadap seseorang . Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib,
sedangkan hukum husnuzan kepada
manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan). Husnuzan kepada sesama manusia
berarti menaruh kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan. Husnuzan
berdampak positif berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri maupun orang
lain.
h)
Tawadhu’
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk
berarti orang yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah
takabur.
i)
Tasamuh
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk
berarti orang yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah
takabur.
j)
Ta’awun
Ta’awun berarti
tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengan sesama manusia.
b. Akhlak Tercela
a)
Mudah Marah (Al- Ghodab)
Ialah kondisi emosi seseorang yang tidak dapat
menahan kesabarannya, sehingga menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak
menyenangkan orang lain.
b)
Iri Hati Atau dengki ( al-hasadu atau al-
hiqdu)
Ialah sikap kejiwaan seseorang yang selalu
menginginkan agar kenikmatan dan
kebahagiaan hidup orang lain bisa hilang sama sekali.
c)
Mengadu-adu (an-namimah)
Ialah suatu perilaku yang suka memindahkan
perkataan seseorang kepada orang lain,dengan maksud agar hubungan sosial
keduanya rusak.
d)
Mengupat (al-ghibah)
Ialah suatu perilaku yang suka membicarakan
keburukan seseorang kepada orang lain.
e)
Bersikap congkap (al-ash’ar)
Ialah suatu sikap dan perilaku yang menampilkan
kesombongan, baik dilihat dari tingkah lakunya, maupun perkataannya.
f)
Sikap kikir (al-bukhlu)
Kikir ialah suatu sikap yang tidak mau
memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain.
g)
Berbuat aniaya (al-zulmu)
Berbuat aniaya ialah suatu perbuatan yang
merugikan orang lain, baik kerugian materiil maupun non materiil.
h)
Dendam
Dendam ialah
keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk membalas kejahatan.
2. Akhlak terhadap
Lingkungan Hidup
Berakhlak
kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang
harmonis dengan alam sekitar. Memakmurkan alam adalah mengolah sumber daya yang
berada di alam sehingga dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia tanpa
merugikan alam itu sendiri. Allah menyediakan bumi yang subur ini untuk diolah
oleh manusia dengan kerja keras dan dipelihara sehingga mampu melahirkan nilai
yang tinggi. Kekayaan alam yang berlimpah disediakan oleh Allah untuk digunakan
oleh manusia dengan cara mengambil dan memberi manfaat, baik dari dan kepada
alam serta melarang segala bentuk perbuatan yang merusaknya.
Alam dan
lingkungan yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat yang
berlipat-lipat. Sebaliknya, alam yang dibiarkan atau hanya diambil manfaatnya
akan mendatangkan malapetaka bagi manusia. Kita dapat menyaksikan dengan jelas
bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh akhlak yang buruk terhadap lingkungan
seperti hutan yang dieksploitasi tanpa batas sehingga melahirkan malapetaka
kebakaran hutan yang menghancurkan tanaman hutan dan habitat hewan- hewannya.
Eksploitasi
kekayaan laut tanpa memperhitungkan kelestarian ekologi laut telah menimbulkan
kerusakan hebat,baik habitat hewan maupun tumbuh- tumbuhan. Sayangnya, semua
itu dilakukan semata-mata untuk mengejar keuntungan ekonomi yang bersifat
sementara, namun akibatnya mendatangkan kerusakan alam yang parah dan tidak
bisa direhabilitasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun.
Kerusakan alam
dan ekosistem di lautan dan daratan terjadi akibat manusia tidak menyadari
sifatnya yang sombong, egois, rakus, dan angkuh yang merupakan bentuk akhlak
terhadap lingkungan yang sangat buruk dan tidak terpuji. Padahal tujuan
diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi yaitu sebagai wakil Allah
yang seharusnya bertugas memakmurkan, dan melestarikan alam. Firman Allah SWT.
dalam Surah Ar-Rum Ayat 41. Artinya :
“Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
3. Akhlak terhadap
Tumbuh-tumbuhan
Lingkungan hidup merupakan dukungan terhadap kehidupan dan kesejahteraan,
bukan saja terhadap manusia akan tetapi juga bagi makhluk yang lain seperti
tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu lingkungan harus tetap terjaga keserasian dan
kelangsungan hidupnya sehingga secara berkesinambungan tetap dalam fungsinya
sebagai pendukung kehidupan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al
Nazi’at : 31-32. Artinya :
"Ia memancarkan daripadanya mata air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
dan gunung-gunung dipancangkanNya dengan teguh (semua) itu untuk kesenanganmu
dan untuk binatang-binatang ternakmu."
Akhlak terhadap lingkungan dapat diwujudkan dalam bentuk perbuatan insan
yaitu dengan menjaga keserasian dan kelestarian serta tidak merusak limgkungan
hidup. usaha-usaha yang dilakukan juga harus memperhatikan masalah-masalah
kelestarian lingkungan. Apa yang kita saksikan saat ini adalah bukti ketiadaan
akhlak terhadap lingkungan. Sehingga akhirnya , akibatnya menimpa manusia
sendiri. Banjir, tanah longsor, kebakaran, dan isu yang sering dibicarakan
yaitu "global warming" sedang mengancam manusia. Allah telah
Berfirman dalam Surat Al Qashas : 77. Artinya :
"Dan
berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. dan janganlh
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. "
Di antara
anugerah Allah kepada manusia adalah diciptakan -Nya tumbuh- tumbuhan. Sebagian
besar makanan manusia berasal dari tumbuh-tumbuhan. Demikian pula makanan
binatang- binatang ternak, sebagian besar adalah tumbuh- tumbuhan yang
bermacam-macam jenisnya. Firman Allah Surah Taha Ayat 53. Artinya :
“Yang Telah
menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang Telah menjadikan bagimu di
bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka kami tumbuhkan
dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.”
Manusia perlu
menyayangi tumbuh- tumbuhan karena sebagian dari pemenuhan keperluan hidup
manusia itu berasal dari tumbuh-tumbuhan, baik tumbuh- tumbuhan yang dapat
dimakan, seperti daunnya, maupun tumbuh- tumbuhan yang batang atau bunganya
dapat diambil manfaatnya dan berfungsi membersihkan udara. Semuanya perlu
diberi air sesuai dengan kebutuhannya.
Tumbuhan yang
ditanam di sawah dan ladang perlu disiangi agar pertumbuhannya dan
perkembangannya tidak terganggu oleh rumput- rumput yang tidak berguna.Tanam-
tanamanan dipelihara yang harus dijaga jangan sampai dirusak atau dimakan oleh
hama. Tanaman yang telah dimakan atau dirusak hama hendaklah diberi pembasmi
hama. Usahakan agar tanaman mendapat sinar matahari dan dapat terkena hujan.
Itulah sebagian di antara cara- cara menyayangi tumbuh- tumbuhan.
4. Akhlak terhadap
Binatang
Dikisahkan pada suatu hari ketika Rasulullah SAW hendak pulang dari suatu
tempat, terlihatlah seekor kucing sedang tidur dengan anak-anaknya di atas
jubah yang hendak dipakai beliau. Beliau memperhatikan mahluk Allah yang sedang
terkulai di atas jubahnya, dan rupanya mereka tengah tertidur pulas. Alih alih
membangunkan mereka, beliau memilih
memotong sebagian jubah hingga tidur kucing-kucing tersebut tidak terganggu.
Tidur lelap adalah salah satu nikmat yang diberikan Allah SWT dan beliau
rupanya merasa tidak layak mengganggu mahluk Allah yang sedang merasakan nikmat
tidur tersebut.
Umat Islam
tentu tahu, Rasulullah SAW bukanlah Nabi yang bergelimang harta dan kemewahan,
bisa jadi jubah tersebut hanya satu–satunya yang beliau miliki, namun pengorbanan demikian tidaklah terasa berat
olehnya. Maka jika akhlak Rasulullah SAW terhadap hewan seperti kucing saja
sedemikian tingginya, bayangkanlah ahlak beliau
terhadap manusia dan penciptanya. Hal ini dinyatakan dalam Al Qur’ an
dan terekam abadi
sepanjang zaman. Seperti yang termaktub dalam Surah Al Ahzab :21. Artinya :
” Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang -orang yang mengharap rahmat Allah…”
Namun
kadangkala kita yang mengaku umatnya sering berbuat semena-mena terhadap hewan,
ada yang kita adu-adu, kita siksa seenaknya, kita buru dan sakiti hanya untuk
kesenangan. Burung-burung yang terbang kita ketapel atau dihujani peluru
senapan angin, ayam jago kita adu-adu sampai meregang nyawanya bahkan kucing
yang mengeong meminta sisa makanan kita tendang begitu saja. Padahal hampir
semua kaum muslimin pernah mendengar riwayat tentang orang yang diampuni Allah
SWT karena menolong anjing yang kehausan.
Binatang/ hewan
ternak yang halal dikonsumsi memang tidak lain tidak bukan diciptakan Allah SWT
untuk keperluan manusia , namun sungguh tidak berarti kita bebas berlaku sewenang–wenang terhadap mereka. Tidak
sekedar menyembelih dengan membaca
Bismillah, namun tata cara menyembelihpun tidak diabaikan oleh agama
yang sejatinya merupakan rahmat untuk seisi dunia.
Kita harus
memiliki akhlak yang terpuji terhadap binatang. Alam hewani sengaja diciptakan
oleh Allah bagi kepentingan makhluk hidup lainnya, khususnya manusia. Manusia
juga dapat belajar mengenai bermacam hal dari hewan- hewan tersebut.
Hewan ada yang
bersifat liar, jinak, atau hewan peliharaan. Ada juga hewan yang terbang di
angkasa, berenang di air, tetapi semua itu adalah jenis makhluk yang memiliki
banyak persamaannya dengan manusia yang merasakan lapar, haus, berkelamin,
hidup berkelompok, dan sebagaimana kehidupan makhluk manusia. Firman Allah SWT
Surah Al An’am ayat 38. Artinya :
“Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami apakan sesuatupun
dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.
Binatang ternak
atau peliharaan atau binatang apa pun jenisnya yang dipelihara perlu disayangi.
Cara menyayangi binatang peliharaan antara lain dengan memberinya makanan,
menyediakan tempatnya (kandang) yang wajar, memelihara kebersihannya, menjaga
kesehatannya, bahkan kalau mungkin mengobatinya apabila sakit sebagaimana yang
dilakukan oleh kebun binatang pada umumnya.
Kebiasaan
mengadu binatang-binatang tertentu sesungguhnya juga berarti menyiksa binatang
tersebut. Terlebih apabila mengadu binatang dengan memakai taruhan karena
perbuatan ini adalah judi, sedangkan berjudi termasuk dosa besar.
Binatang ternak
yang akan dimakan dagingnya tentu harus disembelih lebih dulu. Menyembelih
hewan pun ada peraturannya agar binatang yang disembelih tidak tersiksa. Di
antara peraturan tersebut antara lain ketika akan menyembelih hendaknya memakai
alat yang tajam, dan sebelum disembelih, binatang tersebut hendaklah diberi
makan sampai kenyang. Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa kita
diperintahkan untuk menyayangi binatang. Nabi Muhammad SAW bersabda sebagai
berikut, yang artinya:
"Sesungguhnya
Allah mewajibkan berlaku baik atas segala sesuatu, maka apabila kamu membunuh
(hewan) hendaklah membunuh dengan baik, dan apabila kamu menyembelih maka
sembelihlah dengan baik, dan hendaklah kamu menajamkan pisaumu, dan hendaklah
binatang sembelihan itu disenangkan (dengan cara memberi makan sebelum
disembelih).” (HR Muslim).
Dengan
demikian, kita boleh membunuh binatang yang membahayakan atau merugikan. Kita
diperintah untuk mem¬bunuhnya, asal saja ketika melaksanakannya tidak didahului
dengan penyiksaan, seperti menyirami tikus dengan minyak tanah, kemudian baru
membakarnya. Bunuhlah binatang itu dengan alat yang menyebabkan ia segera mati
sehingga ia tidak merasa tersiksa.
5. Akhlak terhadap
Makhluk Ghaib
Selain
menciptakan manusia, Allah SWT juga menciptakan jin. Jin merupakan makhluk gaib
yang harus kita imani. Perlu kita ketahui bahwa selain ada jin yang taat dan
patuh kepada Allah SWT ada pula jin yang tidak patuh dan taat kepada Allah SWT
diantaranya iblis dan setan. Iblis dan setan adalah makhluk Allah SWT yaitu
sejenis jin yang diciptakanNya dari api yang sangat panas, jauh sebelum
diciptakan-Nya Nabi Adam as.
Kita meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan
semesta alam dan Mahakuasa serta Maha berkehendak, sedangkan semua makhlukNya
termasuk jin, iblis dan setan berada di dalam kekuasaanNya. Oleh karena itu,
cara menyikapi adanya jin, iblis dan setan adalah sebagai berikut:
a)
Jangan menuruti langkah-langkah setan.
b)
Tidak terganggu dan terjebak dalam kehidupan
jin, iblis dan setan.
c)
Selalu mengingat Allah dan memohon
pertolongan-Nya dari segala godaan iblis dan setan.
d)
Melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi
laranganNya.
D. Akhlak kepada
Alam
Alam
ialah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi beserta isinya, selain
Allah. Allah melalui Al quran mewajibkan kepada manusia untuk mengenal alam
semesta beserta isinya.
Manusia sebagai khalifah diberi kemampuan oleh Allah
untuk mengelola bumi dan mengelola alam semesta ini. Manusia diturunkan ke bumi
untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya. Oleh karena itu,
manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam sekitarnya, yakni
melestarikannya dengan baik. Ada kewajiban manusia untuk berakhlak kepada alam
sekitarnya. Ini didasarkan kepada hal-hal sebagi berikut :
1.
Bahwa manusia
hidup dan mati berada di alam, yaitu bumi.
2.
Bahwa alam
merupakan salah satu hal pokok yang dibicarakan oleh al quran.
3.
Bahwa allah
memerintahkan kepada manusia untuk menjaga pelestarian alam yang bersifat umum dan yang khusus.
4.
Bahwa allah
memerintahkan kepada manusia untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari alam, agar kehidupannya menjadi
makmur.
5.
Manusia berkewajiban
mewujudkan kemakmuran dan kebahagiaan di muka bumi.
Manusia wajib bertanggung jawab terhadap kelestarian
alam atau kerusaakannya, karena sangat memengaruhi kehidupan manusia. Alam yang
masih lestari pasti dapat memberi hidup dan kemakmuran bagi manusia di bumi.
Tetapi apabila alam sudah rusak maka kehidupan manusia menjadi sulit, rezeki
sempit dan dapat membawa kepada kesengsaraan. Pelestarian alam ini wajib
dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, bangsa dan negara.
Manusia hidup bergantung pada alam sekitar. Mula-mula
mereka hidup secara berpindah-pindah (nomaden) mencari tempat-tempat yang
menyediakan hidup dan makan. Mereka lalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke
tempat lain setelah bahan makanan habis dan tidak didapat. Namun seiring dengan
kemajuan kehidupan manusia, bukan berarti ketergantungan dan kebutuhannya
terhadap alam semakin berkurang. Mereka tetap membutuhkan alam sekitarnya bagi
kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, manusia harus menjaga
keharmonisan hubungannya dengan alam dan makhluk di sekitarnya, yaitu dengan
cara berakhlak yang baik kepadanya. Dalam ajaran Islam, akhlak kepada alam
seisinya dikaitkan dengan tugas manusia sebagi khalifah di muka bumi. Akhlak
manusia terhadap alam bukan hanya semata-mata untuk kepentingan alam, tetapi
jauh dari itu untuk memelihara, melestarikan dan memakmurkan alam ini. Dengan
memenuhi kebutuhannya sehingga kemakmuran, kesejahteraan, dan keharmonisan
hidup dapat terjaga.
Berakhlak dengan alam sekitarnya dapat
dilakukan manusia dengan cara melestarikan alam sekitarnya sebagai berikut :
1.
Melarang
penebangan pohon-pohon secara liar.
2.
Melarang perburuan
binatang secara liar.
3.
Melakukan
reboisasi.
4.
Membuat cagar alam
dan suaka margasatwa.
5.
Mengendalikan
erosi.
6.
Menetapkan tata
guna lahan yang lebih sesuai.
7.
Memberikan
pengertian yang baik tentang lingkungan kepada seluruh lapisan masyarakat.
8.
Memberikan
sanksi-sanksi tertentu bagi pelanggar-pelanggarnya.
Manusia di bumi sebagai khalifah, mempunyai tugas dan
kewajiaban terhadap alam sekitarnya, yakni melestarikan dan memeliharanya
dengan baik. Allah berfirman dalam QS. Al-Qashas : 77 yang artinya : “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Adapun akhlak manusia terhadap alam yang wajib dilaksanakan
adalah sebagai berikut :
1.
Memerhatikan dan
merenungkan penciptaan alam. Allah berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.
( QS. Ali Imran : 190 )
2.
Memanfaatkan alam
beserta isinya, karena Allah ciptakan alam dan isinya ini untuk manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Djatnika, Rakhmat. Sistem Etika
Islam (Akhlak Mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas. 1992.
Jurnal Oleh: Abu Umar Al Bankawy, December 27, 2011,
Bagaimana
Akhlaq Kita terhadap Sang Khaliq?
Nata abudin,
2013, akhlak tasawuf dan karakter mulia, Depok : Rajagrafindo Persada
http://suliani-agustin.blogspot.co.id/2016/01/makalah-akhlak-kepada-allah-swt-dan.html
http://makalahakhlaktasawuf.blogspot.co.id/2012/01/akhlak-kepada-allah-manusia-dan-alam.html
Dr. Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, Pustaka
Setia, Bandung, 2008
Kementrian Lingkungan Hidup RI, “Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Lingkungan Hidup”. Jakarta, 2002.
Drs. H. Ambo Asse, M.Ag. 2003. Al-Akhlak
al-Karimah Dar al-Hikmah wa al-Ulum.Makassar: Berkah Utami.
Comments
Post a Comment